favicon
Pengen Bandeng Presto Khas Semarang?
Dapatkan!

Tafsir Kholifah Menurut Pandangan Ulama Konteporer

   
Tafsir Kholifah Menurut Pandangan Ulama Konteporer

Tafsir Kholifah Menurut Pandangan Ulama Konteporer

TAFSIR KHOLIFAH MENURUT

PANDANGAN ULAMA KONTEMPORER


BAB I
Pendahuluan
A.    Latarbelakang
Selama ini pembahasan politik dalam lintas sejarah Islam hanya berkisar pada wilayah profil khalifah serta syarat-syarat kepemimpinan dari pada sistem kemasyarakatan, kitab-kitab yang telah menjadi rujukan klasik dalam politik Islam seperti al-Ahkām al-Sultāniyah karya Imam al-Mawardi, al-Tibr al-Masbūk fi Naslhalli al-Mulūk karya al-Ghazāli, dan lain-lain, hanya memberikan wilayah prinsip-prinsip kepemimpinan yang baik, tanpa menyentuh sedikitpun aspek kemasyarakatan dalam arti sistem kenegaraan. Hal ini tampak pada persoalan yang pertama kali mengemuka pada periode awal pasca wafatnya Muhammad saw. adalah pemilihan pemimpin baru sesegera mungkin sebelum terjadi perpecahan, Sehingga pada saat itu permasalahan yang diperselisihkan adalah masalah kekuasaan politik terutama sekali masalah khilāfah (kepemimpinan).

B.    Rumusan Masalah
a.    Definisi Kholifah
b.    Pandangan Ayat-Ayat Al-Quran Mengenai Kholifah
c.    Pandangan Ulama Kontemporer





BAB II
PEMBAHASAN
KHOLIFAH MENURUT PANDANGAN ULAMA KONTEMPORER
A.    Pengertian
Khalifah (Arab: خليفة Khalīfah) adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin orang-orang mukmin", yang kadang-kadang disingkat menjadi "amir".
Definisi Etimologi
Kata khalifah berasal dari kata kholafa- yakhlifu/yakhlufu- kholfan- wa khilafatan yang berarti mengantikan, menempati tempatnya. Sedangkan kata khalafu di artikan orang yang datang kemudian atau ganti, penganti. Dan kata al-khaalifatu mempunyai pengertian umat penganti, yang berbeda pengertianya dengan al-khaliifatu yang bentuk jama’nya khulafa’ dan khalaaif yang berarti khalifah.
Sedangkan Nurcholis Majid mengartikan khalifah dengan yang mengikui dari belakang, jadi wakil atau pengganti di bumi.  Sedangkan menurut M. Quraish Shihab kata khalifah, berakar dari kata khulafa’ yang pada mulanya berarti belakang, kemudian seringkali diartikan sebagai pengganti. Karena yang menggantikan selalu berada atau datang dari belakang, sesudah yang digantikannya.
Adapun Dawam Raharjo memberikan pengertia kholifah dalam al-Qur’an diantaranya: mereka yang datang kemudian, sesudah kamu, yang di perselisihkan, silih berganti, berselisih dan pengganti.
Definisi Terminologi
Khalifah adalah seseorang yang di beri kedudukan oleh Allah untuk mengelolah suatu wilayah, ia berkwajiban menciptakan suatu masyarakat yang hubunganya dengan Allah baik, kehidupan masyarakat harmonis dan agama, akal, dan budayanya terpelihara
Pengertian khalifah menurut Hasan Langgulung berdasarkan siapa mengantikan siapa dalam kata khalifah ada tiga pendapat. Pertama, mengatakan bahwa umat manusia sebagai makhluk yang menggatikan makhluk yang lain yang telah menempati bumi ini. Dipercayai bahwa makhluk itu adalah Jin. Kedua, khalifah hanya bermakna mana-mana manusia menggantikan yang lain. Ketiga, khalifah tidak sekedar seorang menggatikan orang lain, tapi ia (manusia) adalah pengganti Allah. Allah datang dulu, khalifah bertindak dan berbuat sesuai dengan perintah Allah.
B.    Ayat-Ayat Mengenai Kholifah
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Kata khalifah dalam ayat ini memiliki arti pengganti, pemimpin atau penguasa. Kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah sesiapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah di sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kekhendak-Nya dan menetapkan ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahami dalam arti menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini. Menghuni bumi yang dikaitkan dengan manusia merupakan salah satu fungsi khalifah, yakni mengelola bumi dengan baik dan benar sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa QS. Al-Baqarah: 30 menunjukkan wajib mengangkat khalifah yang dapat memutuskan berbagai perselisihan, pertengkaran yang terjadi dan membela orang yang teraniaya dan menegakkan hukum serta melarang segala perbuatan keji, haram, dan lain-lain urusan yang tidak dilaksanakan, kecuali dengan adanya hakim pimpinan khalifah.  Pimpinan diangkat dengan nash atau isyarat, atau dengan pengangkatan oleh khalifah yang pertama terhadap yang kedua (sesudahnya) sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap Umar bin Khattab atau diserahkan pada beberapa orang yang dianggap layak sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab, atau kesepakatan orang-orang ahli yang berhak menentukan untuk membai’at kepada mereka yang ia sepakati, maka wajib pada rakyat, masyarakat menurut dan mengikutinya
M. Quraish Shihab menyebukan Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33 berbicara tentang kewajaran manusia dan ketidak wajaran malaikat mmenjadi khalifah di bumi. Menurutnya pengeahuan yang dianugerahkan Allah kepada Adam (Manusia) berupa kemampuan mengetahui segala sesuatu dari benda-benda ciptaan Allah dan fenomena alam merupakan bukti kewajaran Adam menjadi Khalifah di bumi sekaligus ketidak wajaran malaikat menjadi khalifah di bumi. Karena malaikat memang tidak memiliki pengetahuan yang dimiliki oleh Adam (Manusia). Dengan demikian pengetahuan atau potensi berilmu yang dianugerahkan Allah kepada Adam (Manusia) merupakan syarat sekaligus modal utama untuk mengelola bumi ini. Tanpa pengeahuan atau potensi berilmu, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal, meskipun ia tekun ruku’, sujud dan beribadah sebagaimana malaikat. Bukankah malaikat yang sedemikian taatnya dinilai tidak layak menjadi khalifah di bumi karena ia tidak memiliki pengeahuan tentangnya. Melalui kisa ini Allah menegaskan bahwa bumi tidak cukup dikelola hanya dengan tasbih dan tahmid tetapi dengan amal ilmiah dan ilmu amaliyah
Dalam ayat lain disebutkan di dalam surah As-Saad ayat 26 :
        ••          •               
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Ayat di atas dapat dipahami bahwa pengangkatan khalifah ini menyangkut pengertian pengangkatan sebagian manusia yang diberi wahyu oleh Allah tentang syari’at-syari’at-Nya. Pengertian khalifah ini juga mencakup seluruh makhluk (manusia) yang berciri mempunyai kemampuan berfikir yang luar biasa. Manusia dengan kekuatan akal, ilmu pengetahuan, dan daya nalar mereka belum bisa diketahui secara jelas sampai sejauhmana kemampuan yang sesungguhnya. Dengan kemampuan akal, manusia bisa berbuat mengelola alam semesta dengan penuh kebebasan. Ayat tersebut juga mendeskripsikan bahwa Nabi Daud diangkat sebagai khalifah di muka bumi dengan tugas menegakkan hukum dengan benar di tengah-tengah masyarakat. Perintah tersebut disertai pula larangan mengikuti hawa nafsu semata karena hal itu menyebabkan penyimpangan dari agama Tuhan.
Adapun persamaan kedua ayat tersebut (ayat pengangkatan khalifah Nabi Adam dan Nabi Daud) adalah kedua tokoh tersebut diangkat oleh Allah menjadi khalifah di bumi dan keduanya dianugrahi pengetahuan. Keduanya pernah tergelincir dan keduanya memohon ampun lalu diterima permohonannya oleh Allah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa: pertama, kata khalifah digunakan al-Qur’an untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Nabi Daud as. (947-1000 SM) mengelola Palestina dan sekitarnya, sedang Nabi Adam as. Secara potensial dan actual mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah peradaban dan kemanusiaan; kedua, seorang khalifah berpotensi bahkan secara actual dapat melakukan kekeliruan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu.
Larangan mengikuti hawa nafsu pada hakekatnya adalah upaya memelihara martabat kemanusiaan (basyariyat al-insan) sehingga tidak terjatuh ke tingkat hewani atau nabati. Dikhususkannya larangan tersebut kepada seorang pemimpin politik dapat dikaitkan dengan kedudukannya sebagai pemegang tampuk kekuasaan dalam masyarakatnya. Seorang pemimpin politik yang hanya mengikuti kehendak hawa nafsunya tidak saja merugikan dirinya (citra) juga kecerdasan dan jabatan, menjadikan masyarakat sebagai korban hawa nafsunya atau kroninya. Gejala seperti ini tidak asing dalam kehidupan politik, dan dapat diketahui dengan baik dari referensi normatif dan historis.

C.    Pandangan Ulama
dalam ayat Q.S. Al-Baqarah ayat 30 Rasyid Ridha menjelaskan bahwa Allah hendak menjadikan khalifah di bumi, yaitu Adam dan keturunannya yang telah dilengkapi dengan berbagai potensi. Dijadikannya Adam sebagai Khalifah di bumi adalah agar ia menjalankan amanah Allah yaitu dengan menegakkan aturan-aturan-Nya, menampakkan keajaiban karya-Nya, rahasia-rahasia ciptaan-Nya, keindahan-keindahan hikmah-Nya  serta manfaat-manfaat hukum-Nya. Malaikat semula heran mengapa Allah hendak menjadikan seorang khalifah yang justru akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi. Pada hal sudah ada malaikat yang selalu taat, memuji dan mensucikan-Nya. Allah lalu mengatakan bahwa ada rahasia yang tidak dikeahui oleh malaikat mengenai kekhalifahan ini. Mereka tidak mempunyai keampuan menyabut nama-nama benda sebagaimana Adam. Adam dengan kemampuan ini tidak hanya memiliki potensi untuk merusak dan menumpahkan darah tapi juga memiliki keampuan untuk berbuat mashlahah. Selanjunya Rasyid Ridha menjelaskan bahwa manusia bersamaan dengan kebodohan dan kelemahannya, ia telah diberi kekuatan lain yang disebut “akal”. Dengan kekuatan ini manusia menjadi makhluk yang memiliki kehendak dan kebebasan unuk berbuat. Hal itu menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif. Telah banyak penemua ilmiah atau rahasia-rahasia alam yang telah diungkap oleh manusia yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Hal itu merupakan bukti potensi kreatif yang dimiliki manusia. Agar potensi akal yang diberikan Allah kepada manusia membawa kemanfaatan dan kemaslahatan, maka Allah juga membeikan kepada manusia hukum-hukum syari’at yang membatasi amal perbuatan serta akhlak manusia yang dapat mencegahnya dari berbuat maksiat dan kerusakan. Hukum-hukum inilah yang akan membantu manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Karena fungsi dari hukum atau syariat itu adalah untuk membimbing atau mendidik (akal manusia) yang dalam batas-batas tertentu bisa berakibat negatif. Potensi akal yang menyebabkan manusia menjadi makkhluk yang kreatif inilah yang menjadikan dia berbeda dari makhluk yang lainnya, termasuk malaikat. Atas hujjah ini pula Allah mengangkat manusia menjadi Khalifah di bumi. Dalam kata penutupnya Rasyid Ridha memberikan tambahan bahwa pengangkatan Adam sebagai Khalifah di bumi sekaligus pengajaran-Nya tenang nama-nama (ilmu) merupakan cara Allah memuliakan manusia. Dan sujudnya para malaikat itu berarti menghormati asal kejadian Adam (Manusia).
Dalalm memnafsirkan Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33, Hamka mengambil kesimpulan bahwa dalam penciptaan manusia sebagai Khalifah, Allah telah melengkapinya dengan poensi yang dapat digunakan untuk menunjang fungsi kekhalifahannya itu adapun potensi yang dimaksud dalam ayat ini adalah potensi yang berupa ilmu atau pengetahuan. Menurut penjelasannya, manusia disamping diberi potensi-potensi sebagaimana makhluk lain, ia telah dianugerahi potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, yaitu akal. Akal inilah yang menjadi pembeda manusia dari makhluk lain termasuk malaikat. Dengan akalnya itu manusia bisa mengembangkan ilmunya dan mencipakan teknologi bahkan dengan akalnya itu manusia bisa menguak rahsaia-rahasia alam dengan seizin Allah. Sebagai bukti bahwa manusia memiliki potensi akal dalam konteks ayat ini bisa dilihat ketika Adam mampu menyebutkan kembali nama-nama yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa Adam (Manusia) memiliki kelebihan atau keistimewaan yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain termasuk malaikat. Kaisimewaan yang diberikan Allah kepada manusia itu merupakan cara Allah memuliakan manusia. Sehingga dalam kata penutupnya Hamka mengatakan bahwa manusia dengan kelebihan yang diberikan kepadanya tidak layak manakala ia mengabaikan kerunia itu. Sebaliknya dia harus senantiasa mensyukurinya dengan kemanfaatan.

D.    Penjelasan mengenai kata al-khilafah dalam kamus Lisan al-‘Arab
Al-khalf : belakang, lawan dari depan (muka) Al-khalaf : yang datang belakangan sebagai ganti dari yang sebelumnya. Al-takhalluf : terlambat Al-khaalif (Jmk: khawaalif) : yang datang terlambat (ketinggalan) Al-khaliifah : yang terbelakang, yang datang kemudian sehingga terlambat, yang mengikuti apa yang lebih dahulu, yang menggantikan apa yang lebih dahulu.
Ibn al-Atsir mengatakan: al-khaliifah (lam panjang) artinya orang yang menggantikan (menduduki posisi) pendahulunya dan menjalankan fungsi pendahulunya itu. Huruf ta’ marbuthah disitu adalah untuk tujuan mubalaghah (dan bukan untuk menunjukkan muannats). Bentuk jamaknya ada dua. Pertama, al-khulafaa’ (seperti pada al-zhariif – al-zhurafaa’). Kedua, al-khalaa-if (seperti pada zhariifah – zharaa-if). Sementara al-khaalifah (kha’ panjang) menunjukkan ketercelaan seseorang (orang yang ketinggalan, orang yang banyak khilaf).
Oleh karena itu Ibn ‘Abbas meriwayatkan hadits: “Bahwasanya seorang Arab Badui bertanya pada Abu Bakr ra.,’Anda khaliifah Rasulullah ?’ Maka Abu Bakr menjawab,’Tidak’. ‘Lalu apakah Anda ini ?’. ‘Saya adalah khaalifah sepeninggal beliau’. Agaknya jawaban Abu Bakr diatas muncul karena ke-tawadhu’-an beliau.
Dari beberapa keterangan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa makna khaliifah ialah:
Pertama, khaliifah berarti seorang pengganti Allah di muka bumi, dalam rangka menunaikan amanat-Nya dan menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Ini tidak berarti bahwa Allah lemah dan tidak berkuasa sehingga membutuhkan bantuan. Bukankah Allah juga menciptakan para malaikat yang dibebani tugas-tugas tertentu ? Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai pengganti-Nya adalah sebagai wasilah sunnatullah bagi kemahakuasaan-Nya. Bukankah Allah mengalahkan orang-orang yang ingkar melalui tangan-tangan orang-orang yang beriman (mujahidin) ? Apakah ini berarti Allah tidak mampu membasmi mereka sendirian ? Sebenarnya secara hakiki Allah-lah yang melakukan itu semua, karena kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. “Bukanlah kamu yang memanah ketika kamu memanah, akan tetapi Allah-lah yang memanah”(QS Al-Anfal: 17). Manusia juga disebut sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) karena telah menjadi kepanjangan tangan bagi kekuasaan Allah –dalam batas-batas tertentu- di bumi. Berangkat dari sini kita akan memahami bahwa pada dasarnya tugas manusia untuk menggantikan-Nya merupakan ujian bagi manusia, bagaimanakah perbuatan mereka di muka bumi ini, apakah mencerminkan posisinya sebagai pengganti-Nya ataukah tidak. Untuk itulah kita wajib me-ma’rifat-i nama-nama dan sifat-sifat Allah, agar kita bisa merefleksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu dalam kehidupan kita di bumi, sehingga kita seolah-olah merupakan pengganti-Nya. “Takhallaquu bi akhlaaqil-Laah (Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah)”.
Khaliifah dalam pengertian ini secara spesifik dinisbatkan kepada Adam as (QS. Al-Baqarah: 30) dan Dawud as (QS. Shaad: 26).
Namun, sebagian ulama (antara lain Ibn Taimiyyah) melarang keras penggunaan istilah khalifat al-Lah, sebab istilah khalifah hanya layak diberikan kepada sesuatu yang menggantikan sesuatu yang telah mati atau telah tidak ada di tempat, padahal Allah selalu hidup dan selalu ada menyertai dan mengawasi para hamba-Nya. Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan pendapatnya tersebut dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’. Beliau juga mengatakan bahwa barangsiapa menjadikan bagi Allah seorang khalifah, maka dia telah telah menyekutukan-Nya.
Sebetulnya, kontradiksi diatas timbul karena perbedaan definisi dan persepsi. Apabila kita kembali kepada esensi dan mengabaikan ungkapan-ungkapan (simbol-simbol) bahasa, maka pada dasarnya kontradiksi itu tidak ada. Apalagi kalau kita bisa memahami bahwa pendapat Ibn Taimiyyah diatas merupakan sanggahan terhadap pendapat para sufi dan filosof, yang memang sudah melampaui batas, misalnya dengan mengatakan bahwa raja (sultan), atau manusia pada umumnya, merupakan bayang-bayang Allah (zhill al-Lah).
Kedua, khaliifah berarti pengganti dari yang sebelumnya karena telah tiada, seperti pada kaum yang menggantikan kaum Nuh dan kaum ‘Aad setelah musnah dihancurkan oleh Allah. Demikian pula Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun yang telah ditenggelamkan. Abu Bakr disebut sebagai khaliifah al-Rasul karena telah menggantikan Rasulullah sepeninggal beliau. (Sesuai dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’.)
Oleh karena itu, secara umum bisa dikatakan bahwa khaliifah berarti pengganti dari sesuatu yang sedang ghaib (tidak hadir). Manusia disebut sebagai khaliifah Allah karena –seolah-olah- telah menggantikan Allah di bumi selama kehidupan dunia fana, dimana selama itu Allah menyembunyikan diri dari penglihatan makhluk-Nya (ghaib ‘inda al-nazhr al-zhahiriy). Di akhirat nanti, Allah akan menampakkan diri-Nya, sehingga pada saat itu berakhirlah kekhalifahan manusia dan berakhirlah masa ujian bagi manusia.
Harun as disebut sebagai khalifah Musa as karena Harun harus menggantikan Musa selama kepergiannya (keghaibannya). Kaum-kaum yang menggantikan kaum ‘Aad dan kaum Nuh, Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun, serta Abu Bakr yang menggantikan Rasulullah, disebut sebagai khaliifah karena telah menggantikan generasi sebelumnya yang telah lenyap (ghaib).






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Khalifah sebagai wakil atau pengganti Tuhan dimuka bumi harus memiliki kompetensi kepemimpinan sebagai alat untuk melaksanakan tugasnya mengelola bumi. Memperhatikan masalah kepemimpinan dan khalifah, M. Qurais Shihab menganalisa dalam Al-Qur’an terdapat tiga kata yang menjadi rujukan makna pemimpin:
Khalifah Sebagaimana diuraikan didepan khalifah, arti dasarnya adalah yang dibelakang. Fungsinya memberi dorongan kepada yang ada didepan.
B.    Saran
Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan, jika terdapat penulisan dan kesalahan didalam makalah ini, penulis mohon maaf dan mohon masukkan dari pembaca semuanya, dan semoga bermanfaat bagi penulis dan pambaca. Terimakasih.

Daftar Isi
    Diambil dalam pengertian wikipedia Indonesia www.id.wikipedia.org/kholifah
    Ahmad Warson Munawwir, Al munawwir, kamus Arab-Indonesia,(Yogyakara):hlm. 390-391
    Nurcholis Madjid, Islam, Dokrin dan Peradaban (jakarta:Paramadina, 1992), hlm. 8
    M. Quraish Shihab, Membumikan AlQur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet.xxx (bandung: Mizan, 2007), hlm. 157
    Dawam Raharjo, Ensiklopedia Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996) hlm. 535
    M. Quraish Shihab, Membumikan AlQur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet.xxx (bandung: Mizan, 2007), hlm. 166
    Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikolgi dan Pendidikan (Jakarta,: Pusaka Al Husna,1989), hlm. 75
    Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Thoha Putra, 2002)
    Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid I, (Ciputat: Lentera Hati, 2002)
    M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lenera Hati, 2000),hlm.148-149
    Nawawi, Hadari, Kepemimpinan Menurut Islam, (Cet. I, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993)
    M. Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar (Beirut-Libanon, tth), hlm. 254-264.
    Hamka, Tafsir Al-Azhar (Juz.1) (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), hlm.165-166.
    http://menaraislam.com/content/view/75/40/

Last update